Pangsa Pasar Potensial Bisnis Keripik Salak Pondoh
Tiap tahun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo selalu menggelar lomba cipta menu makanan tradisional setempat. Gelar lomba kreasi di bidang kuliner itu biasanya dirangkai dengan perhelatan hari jadi kota pegunungan yang jatuh pada 24 Juli. Hajat tahunan bagi kalangan organisasi perempuan dan pelaku bisnis boga itu, selalu mendapat sambutan antusias. Aktivis organisasi perempuan dari 15 kecamatan saling beradu kreasi masakan. Beragam menu khas daerah Wonosobo berhasil diciptakan.
Ada karamel singkong, tiwul instan, empek-empek ikan, pie mocubikong (pie mocal, ubi dan singkong), puding carica, aneka juice buah lokal dan olahan tradisional lain berbahan ubi dan singkong.
Tak hanya aroma rasa enak dan nikmat yang menarik. Bentuk dan rupa juga disetting sedemikian rupa sehingga terwujud makanan yang unik dan membetot perhatian pengunjung. Sebuah kreativitas tak terbatas yang patut diapresiasi semua pihak.
Tak urung, Sutini Tatang, pakar tata boga Wonosobo dan pemilik usaha kuliner Restoran Asia setempat, memuji kreativitas warga dalam mengubah makanan tradisional menjadi olahan yang bergengsi dan layak disandingkan di rumah makan terkenal.
Sebagai sentra pertanian, Wonosobo memang kaya akan potensi boga. Tren industri boga yang berkembang di berbagai daerah, membuat warga kota sejuk ini bergeliat untuk menggali potensi di sektor bisnis dan wisata kuliner.
Makanan Khas Buah Carica dan tanaman perdu Purwaceng, boleh disebut, dua jenis kekayaan khas bahan baku minuman yang tidak bisa ditemukan di daerah lain. Pasalnya, dua jenis tumbuhan ini hanya bisa hidup dan dikembangkan di kawasan pegunungan Dieng.
Pepaya carica oleh warga setempat berhasil diolah menjadi minuman segar. Sedang purwaceng disulap menjadi seduhan berhasiat bagi kesehatan dan vitalitas tubuh. Dua jenis minuman ini menjadi ikon olahan khas Wonosobo, selain kacang Dieng dan keripik jamur.
Di luar itu, masih ada Dendeng TV/Dendeng Gepuk, dodol dan keripik salak pondoh serta stick pongge. Olahan Dendeng TV, dodol dan keripik salak pondoh serta stick pongge, juga tak kalah unik dari produk makanan kawasan wisata Dieng.
Pasalnya, Dendeng TV, dodol dan keripik salak pondoh serta stick pongge mampu melahirkan sensasi rasa yang berbeda.
Aroma crispy, gurih dan enak menjadi ciri dari ketiga makanan ringan tersebut. Dodol salak pondoh sendiri merupakan variasi dari dodol jenis lain yang selama ini sudah banyak dikembangkan di derah Garut Jawa Barat.
Olahan Dendeng TV yang berbahan baku daging sapi ini dibikin warga Sumberan Wonosobo. Tepatnya dikelola oleh Ibu Yunita F Sanjaya.
Sedang dodol dan keripik salak pondoh diproduksi warga Sukoharjo sebagai basis salak pondoh di Wonosobo.
Sayangnya, perkembangan bisnis boga tersebut masih kembang kempis karena keterbatasan modal dan jangkauan pemasaran. Stick pongge dirintis warga Selomerto. Stick pongge ini berbahan baku pongge durian, yang biasa dianggap barang tak berguna dan dibuang begitu saja setelah buah durian habis dinikmati.
Wisata Boga Pertumbuhan bisnis boga berupa jajanan khas daerah juga diikuti oleh menjamurnya rumah makan berkonsep wisata kuliner di kota wisata ini. Beberapa tahun terakhir, bak jamur di musim hujan, telah bermunculan warung makan yang disetting unik dan alami.
Gerai dahar ini tidak saja menawarkan makanan spesial tapi juga tempat yang penuh sensasi. Di Kertek ada Rumah Makan Sindoro Sumbing dan Cafe Muray. Dua rumah makan berkonsep ala ndeso dengan gazebo dan gubuk dari bambun ini, menyajikan aneka ikan bakar dan goreng.
Di Selomerto ada Rumah Makan Mufid Duki yang menyuguhkan masakan ala nasi liwet dengan lauk ikan dan ayam bakar/goreng. Rumah makan berlatar belakang areal persawahan ini, tempatnya berbentuk saung (gubug).
Bicara mengenai keripik salak pondoh. Salak Pondoh dari Kab Sleman sudah sangat terkenal di berbagai daerah. Kini ada sensasi baru untuk menikmati buah khas lereng Merapi itu yaitu menikmati kripik salah pondoh yang renyah.
"Rasa keripiknya segar karena rasa buahnya masih kentara manis dan ada sedikit rasa masam," kata Rafika (32), saat mencoba rasa kripik itu di stand UKM Tawangrejo Agro, Ambarrukmo Plaza.
Sambil mencomot lagi beberapa keping kripik, pelancong asal Malang itu mengaku baru sekali merasakan salak pondoh dalam bentuk kering. Menurutnya dari segi rasa dan kemasan kripik salak pondoh itu sangat cocok untuk oleh oleh ke tempat asalnya.
"Di Malang tempat saya ada kripik apel, tapi sesuai dengan potensinya di Sleman ada kripik salak pondoh. Ini layak dicoba," kata perempuan yang akrab dipanggil Fika ini.
Ia pun tidak ragu memesan cemilan itu, satu bungkus kripik salah pondoh 100 gram ditambah satu bungkus kripik nangka 100 gram sebagai buah tangan untuk keluarga.
Adalah kelompok usaha Tawangrejo Agro asal Dusun Tawangrejo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem yang menciptakan cemilan buah tersebut. Industri rumah tangga itu mengolah buah-buahan segar menjadi keripik kemasan yang diberi label "Kharisma".
"Selain salak pondoh, juga ada buah-buahan lainnya seperti nangka, pisang, nanas dan jamur tiram," kata Marketing Tawangrejo Agro, Ani Sulistyawati.
Komoditas buah yang diproses menjadi kripik berasal dari kebun buah organik di Kab Sleman. Pengolahannya pun alami yakni buah segar dikeringkan selanjutnya digoreng dengan minyak tanpa menggunakan bahan pengawet. Setelah dikemas buah kering mampu bertahan hingga satu tahun.
Buah kering yang ditawarkan kepada konsumen ada dua kemasan yakni kemasan 40 gram seharga Rp 6.000 dan kemasan 100 gram seharga Rp12.500. "Semua jenis keripik buah dalam kemasan yang kami jual harganya sama saja," kata Ani.
Untuk pemasarannya, Ani mengatakan hanya terbatas ke toko-toko lokal yang diperuntukkan kepada wisatawan yang berkunjung ke desa wisata Kabupaten Sleman. Selain itu pesanan juga dikirim ke sejumlah wilayah di luar DIY. "Kami juga mengirim ke Papua. Entah mengapa mereka menyukai kripik salak pondoh ini, market di sana lumayan bagus," ujar Ani.
Sebagai usaha yang baru berkembang, pemasaran kripik buah ini masih memerlukan banyak dorongan terutama untuk mengambangkan skala usaha. Saat ini meskipun sejumlah wilayah di nusantara mulai tertarik dengan produk ini tetapi masih kesulitan untuk memenuhi pasar karena terbatasnya volume produksi.
"Mesin produksi cuma satu dan dalam pengemasan produk masih manual hingga kurang cepat. Jadi sementara ini kami masih bertahan dengan skala produksi yang kecil," ujarnya. (fn/sm/tn) www.suaramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar